-->

Elemen Pembentuk Kota



Pendekatan perancangan kota meliputi semua domain ; ekonomi, sosial budaya, militer, seni, teknologi, politik, dan sebagainya tergantung tujuan dibangunnya sebuah kota serta kegiatan utama penduduknya. Berdasarkan pendekatan – pendekatan tersebut, elemen – elemen pembentuk kota disusun dan dianalisis dalam perancangan. Dari pendekatan tersebut pula banyak jenis kota yang diciptakan sesuai dengan peruntukannya; kota tambang, kota tekstil, kota industri, dan sebagainya. Ankara (turki) dan Cambera (Australia) lahir dari kebutuhan politik, Besancon dan Metz (perancis) lahir dari kebutuhan pertahanan.

Amos Rapaport (1985) yang melakukan studi permukiman tradisional dibeberapa negara menyimpulkan bahwa, pengaturan lingkungan permukiman manusia, merupakan wujud pengejawantahan manusiayang merasa perlu mengatur jagad raya ini, dimana semua kebudayaan mempunyai suatu system pengaturan lingkungan permukiman secara sendiri – sendiri; mereka berkomunikasi secara simbolis melalui pengaturan lingkungan. Semua lingkungan mempunyai makna dan mereka menggambarkan makna itu dalam bentuk skema, prioritas, preferensi dan kebudayaan dari penciptanya. Pada kebudayaan tradisional, pengaturan berdasarkan agama dengan maksud untuk mengatur kekacauan dunia dengan meniru suatu pengatura ideal, yaitu pengaturan dan harmoni surgawi.

Kota tradisional pada umumnya dibangun dari elemen elemen berikut; pusat (kosmologi, pemerintahan, ritual) sumbu – sumbu maya, gunung kosmis, pembagian ruang atas sakral dan profane, permukiman yang dikelompokkan atas gender, strata sosial dan sebagainya. Akibat perkembangan zaman, perkembangan permukiman tradisional, aturan agama dan sosial di geser oleh faktor teknologi dan ekonomi. Dari faktor teknologi dan ekonomi melahirkan konsep “ form follow function “, yaitu suatu konsep yang menitik beratkan suatu hasil desain atau perancangan dari segi fungsional, konsep tersebut nampaknya lebih praktis, lebih rasional dan fungsional, dengan motor teknologi membuahkan hasil yang nyata di beberapa negara maju.

Menurut Weber (1947) beberapa kreteria untuk merancang sebuah kota yaitu sebuah wilayah yang luas dimana habitat hidup bersama, sekumpulan rumah – rumah yang membentuk Aglomerasi yang luas dan spesifik, tempat berdagang dimana sebagian besar penduduknya hidup dari industri, sebuah organisasi ekonomi sekaligus pengaturan kota.

Berdasarkan pendekatan - pendekatan diatas Kus Handinoto membagi kota dalam empat elemen :

  • Elemen wisma merupakan perpaduan antara wadah dan isi (manusia, penduduk).
  • Elemen karya atau tempat kerja dan usaha diaplikasikan dalam bentuk tata guna lahan dan fungsi bangunan yang meliputi penggunaan lahan, kondisi lokasi, hubungan fisik, agrarian dan peraturan
  • Elemen marga diaplikasikan dalam transpormasi dalam arti luas yang meliputi perhubungan darat, laut dan sungai serta udara.
  • Elemen suka diaplikasikan dalam bentuk lapangan olah raga, sekolah, ibadah, kesehatan dan keperluan sehari – hari.
  • Elemen lainnya adalah penyempurna yang terdiri dari saluran air minum, sampah, segala potensi yang ada dan hambatan, utilitas, fisik dan lain – lain

Superimposition of Events: Gagasan Superimposisi Berdasarkan Bernard Tschumi’s Parc de la Villette

Geometri Arsitektur merupakan sebuah pembelajaran yang membahas mengenai bentuk-bentuk geometris yang hadir dan terbentuk di dalam suatu ruang untuk dialami oleh manusia. Dalam pengertiannya, geometri dan arsitektur secara bersama-sama memberikan suatu makna terhadap kehadiran suatu bentuk entah itu berupa titik, garis, ataupun bidang di dalam suatu ruang tiga maupun empat dimensi untuk dialami oleh manusia. Lahirnya sebuah geometri di dalam arsitektur tidak lagi semata-mata hanya melihat dari hasil akhirnya saja melainkan dari bagaimana geometri itu terbentuk dan bagaimana proses penjabaran eksplorasi dalam menemukan geometri tersebut.

Mekanisme pembentukan geometri arsitektur yang saya eksplorasi merupakan salah satu hasil karya arsitektur Bernard Tschumi yang sangat terkenal di Paris pada tahun 1990, Parc de la Villette. Pada awalna, salah satu hal mendasar yang paling menarik perhatian saya adalah komposisi bentuk follies yang ada di lahan kosong seluas 125 hektar. Bentuk follies tersebut memiliki kesan unik dan khas tersendiri. Dia tidak memiliki kesan homogen antara yang satu dengan yang lainnya. Semua seolah tersebar di taman itu dengan bentuk yang berbeda-beda. Bagaimana cara Tschumi menghasilkan bentuk-bentuk itu? Bagaimana ia membuat bidang-bidang itu bertabrakan, bersinggungan, atau kemudian diteruskan hingga membentuk suatu yang kontinu di dalam lahan itu dan dapat dinikmati oleh berbagai event manusia dalam ruang dan waktu?

Gambar 1. Parc de la Villette, Paris

Parc de La Villette, Paris, berawal mula dari konsep taman yang ditawarkan oleh Tschumi. Berbeda dengan pandangan masyarakat saat itu bahwa taman adalah tempat di mana mereka dapat melupakan city (kesibukan mereka bekerja, contohnya), Tschumi berusaha menghadirkan konsep murni berupa Urban Park. Konsep yang berusaha dihadirkannya ini benar-benar tidak berasal dari lingkungan sekitar site yang berupa daerah industri tua di Paris. Sebagai langkah awal ia melihat beberapa preseden organisasi ruang taman-taman kota yang ada di Paris dari abad ke-18 hingga abad ke-20. Dari situlah kemudian ia menemukan layer- layer berupa point and grid system yang dapat diaplikasikan pada desainnya.


Secara mendasar proses Tschumi dalam menghasilkan bentuk folie yang abstrak ini adalah dengan menggunakan teknik superimposition di mana ia menggabungkan beberapa layer-layer yang berbeda satu sama lainnya ke dalam satu bidang datar. Prosesnya adalah dengan menyatukan tiga layer dasar pembentukan geometri yaitu titik, garis, dan bidang sehingga pada hasil akhirnya yang terjadi adalah tabrakan atau konflik antar sistem satu dengan sistem lainnya. Tiap-tiap layer memiliki makna dan tujuan tersendiri di dalam proses melahirkan suatu event dalam ruang. Bila kita lihat, layer-layer ini pada awalnya merupakan layer-layer yang mengandung order atau keteraturan di dalamnya. Ada keteraturan orientasi dan arah dalam membagi grid, penitikan kubus yang disebar dengan jarak dan ritme yang memiliki pola yang sama, dan bentuk bidang-bidang geometri yang mendasar. Namun pada hasil akhirnya, ketika proses superimpose itu telah dilakukan, kita tidak lagi melihat order dari layer-layer sebelumnya. Telihat dari proses pemikiran Bernard Tschumi ketika mendesain proyek Parc de La Villette ini adanya transformasi atau perubahan dari sesuatu yang memiliki kemurnian, kesempurnaan dan order dalam bentuk (proporsi yang ideal menurut Vitruvius) menjadi sesuatu lain yang kacau, tidak lagi terlihat sempurna di mata manusia yang melihatnya. Tschumi berusaha melahirkan bentuk yang tidak lagi pure dan dapat dimengerti dengan mudah oleh manusia dari bentuk dan tatanan order bentuk-bentuk geometris yang murni.

“Ideals of purity, perfection, and order become sources of impurity, imperfection, and disorder” (Johnson & Wigley, 1988). Seolah-olah semua garis terganggu kestabilannya, bentuk-bentuk yang dihadirkan tidak lagi dapat dengan mudah dan cepat dimengerti. Bernard Tschumi berusaha menjadikan bentuk-bentuk geometri dasar yang ideal sebagai sumber bentuk-bentuk yang tidak seimbang dan berbeda. “It gains its force by turning each distortion of an ideal form into a new ideal” (Johnson & Wigley, 1988). Bagaimana proses lahirnya bentuk geometri yang awalnya penuh keteraturan klasikal menjadi bentuk geometri yang abstrak dan tidak teratur?

parcvillette2
Gambar 2. Mekanisme pembentukan geometri Parc de la Villette


Prinsip mendesain paling mendasar yang dilakukan oleh Tschumi adalah dengan teknik superimpose tiga sistem layer: point, lines, dan surface. Dari hasil superimpose ini kemudian timbul suatu distorsi antar layer atau sistem. Distorsi tidak hanya karena hasil superimpose layer-layer tetapi juga dari konflik yang muncul antar sistem satu dengan sistem lainnya. Distorsi juga dimunculkan oleh Tschumi dari konflik antar elemen yang ada di dalam satu sistem dengan memberikan forces berupa twist atau dipatahkan (seperti yang dilakukannya terhadap North-South Axis Galery). Dalam proses distorsi, tiap-tiap folie dalam satu sistem titik terjadi proses pembongkaran (decomposition atau extraction) yang kemudian di rekombinasi lagi dengan permutasi tiap-tiap elemen penyusun hasil ekstraksi. Setelah proses rekombinasi, kemudian bentuk tersebut diberikan force berupa deformation untuk penyesuaian bentuk dengan program aktivitas atau event yang ingin dihadirkan. Berikutnya sebelum beranjak ke tahap eksplorasi bentuk saya akan membahas secara detail tiap-tiap langkah yang dilakukan oleh Tschumi dalam menghasilkan bentuk geometri Parc de La Villette.



Points, Lines, Surfaces

Pertama adalah pembentukan geometri dari tiga sistem yang berbeda dan mendasari geometri Euclidean yang kita kenal; points, lines, dan surface.

Pada layer point, Tschumi menggunakan sistem koordinat point-grid dengan interval 120 meter. Setiap interval 120 meter, garis vertikal dan horizontal bertemu dan membentuk titik yang disebut folie. Sistem koordinat grid ini untuk membentuk image atau shape yang berbeda di antara bentuk-bentuk bangunan lain di sekitar yang rapat. Selain itu juga, dengan sistem koordinat grid ini akan memudahkan orientasi pengguna publik yang belum familiar dengan taman tersebut. Untuk bentuk tiap folie secara mendasar adalah berupa kubus berukuran 10 x 10 x 10 m3 atau disebut juga neutral space karena pada tahap awal ini Tschumi belum memasukkan event atau program ruang ke dalamnya. Neutral space ini memiliki sifat yang masih kosong dan akan dapat dirubah dan dicocokkan kembali dengan kebutuhan program aktivitas yang lebih spesifik. Bila dilihat secara keseluruhan dari bentuk folie-folie ini, saya melihat adanya repetisi bentuk folie yang masih serupa. Repetisi ini memberikan identitas yang dapat dengan mudah dikenali di tengah-tengah garis axis kota paris yang tidak ortogonal. Identitas folie ini sangat kuat seperti layaknya booth telepon yang ada di Inggris atau seperti bentuk Paris Metro Gates. Repetisi dan interval pada layer points yang mengandung ritme-ritme ini secara tidak langsung mengingatkan saya dengan metode Durand. Sangat proporsional dan penuh keseimbangan.


Gambar 3. Site plan Parc de la Villlette

Kemudian pada layer garis, Tschumi berusaha melihat koordinat – koordinat utama yang ada di sekitar lahan 125 hektar. Koordinat utama yang dapat dengan mudah terlihat adalah koordinat utara - selatan dan koordinat timur - barat dimana axis ini merupakan jalur pedestrian yang sangat tinggi tingkat pergerakan dan sirkulasinya. Koordinat utara dan selatan menghubungkan dua Paris Gates dan Subway Stations Porte de La Villette dan Porte de La Panin. Sedangkan koordinat timur – barat menghubungkan taman dengan western suburbs. Di dalam koordinat axis besar ini, Tschumi membuat layer garis dengan melihat kondisi movement dari pedestrian user di koordinat utama itu. Architecture as event, dimana arsitektur terlahir dari movement, use, dan space. Garis-garis abstrak ini akan menunjukkan jalur-jalur mana yang lebih sering dilalui oleh pengguna jalan. Nantinya ketika dilakukan proses superimpose, antara sistem garis dan titik ini akan saling menentukan folies mana saja yang lebih sering dilewati oleh public. Folie yang awalnya masih berupa neutral space kemudian akan diisi oleh program ruang yang cenderung dapat menarik orang banyak seperti misalnya City of Music, café and restaurant, children’s playground, dan music performance. Sehingga pada produk akhirnya, folies yang ada di taman ini akan berfungsi sebagai building-generator untuk events yang akan hadir di taman ini.

parcvillette4a parcvillette4b1
Gambar 4. Lines system and building as event generator

Pada layer surfaces, Tschumi melihat zona-zona pembagian ruang yang mungkin hadir di site. Dan kemudian mewujudkannya dalam sebuah bentuk permukaan bidang yang cukup luas untuk menampung berbagai aktvitas di taman tersebut. Semua aktivitas yang membutuhkan pertambahan area secara horizontal, seperti ruang untuk bermain, olahraga, exercise, mass entertainment, markets, dan lain-lain, dalam arti tidak lagi di dalam satu follie, dituangkannya di dalam layer surface ini dengan bentuk-bentuk geometri yang mendasar.

Superimpose Process

Pada tahap selanjutnya, yaitu tahap superimpose, yang dilakukan oleh Tschumi adalah menggabungkan atau merge ketiga layer sistem yang masing-masing independen atau bediri sendiri (autonomous). Yang terjadi pada mekanisme superimpose ini adalah munculnya beberapa distorsi dan konflik antar sistem. “Ideals of purity, perfection, and order become sources of impurity, imperfection, and disorder.” Layer-layer yang pada awalnya murni sebagai bentuk geometri yang mendasar mengalami konflik dan berubah menjadi bentuk yang berbeda sama sekali namun tetap memiliki jejak bentuk sebelumnya.


parcvillette5
Gambar 5. Superimpositions: Points, lines, surfaces

Distortion Process

Distorsi yang muncul tersebut kemudian disikapi lebih jauh oleh Tschumi dengan memberikan forces yang pada akhirnya membuat semacam deviasi bentuk dari geometri ideal yang kita kenal sebelumnya menjadi suatu bentuk ideal form baru yang terlahir dari bentuk ideal dasar. Distorsi yang dilakukan tidak lagi menunjukkan kestabilan bentuk karena langkah berikutnya yang dilakukan Tschumi dalam proses distorsi ini adalah mengekstraksi tiap-tiap folie yang telah mengalami konflik dengan sistem lain. Dia mencoba membongkar elemen-elemen dasar yang membentuk folie tersebut. Berikut ini penjelasan proses dekomposisi – permutasi – deformasi yang dia lakukan terhadap folies:

Decompose/Extraction

Dari hasil konflik antar sistem yang diperoleh dari hasil superimpose sebelumnya, kemudian folies ini dilakukan dekomposisi atau proses disintegrasi, pemecahan elemen – elemen dasar yang membentuk suatu objek. Istilah lainnya adalah proses ekstrasi. Seperti pada gambar di samping,l kubus folie berukuran 10 x 10 x 10 m3 tersebut seolah-olah diledakkan sehingga rangka – rangka penyusunnya terlihat. Begitupun garis, bidang, dan rangka yang memotong folie saat proses superimpose. Dari proses dekomposisi ini kemudian diperoleh elemen-elemen dasar apa yang menyusun folies tersebut. Tiap folie yang ada di taman tersebut memiliki hasil ekstrasi yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Sehingga tidak heran bila folie yang awalnya hanya berbentuk kubus dengan 6 sisi berubah menjadi suatu bentuk yang lain.

parcvillette6 parcvillette7
Gambar 6. Folies: Decomposition of cube; Recombination of cube

Various Recombination/Permutation

Elemen-elemen dasar hasil ekstrasi yang telah diperoleh oleh Tschumi kemudian direkombinasikan kembali satu dengan lainnya sehingga membentuk beberapa alternative untuk memperoleh bentuk. “Each of the cubes is decomposed into a number of formal elements which are then variously recombined. The result is that each point of the grid is marked by a different permutation of the same object.” Proses rekombinasi elemen – elemen pembentuk cube dilakukan dengan menggunakan permutasi. Sebagai contoh proses permutasi, bentuk A, bentuk B, dan bentuk C dapat dipermutasikan menjadi bentuk ABC, bentuk ACB, bentuk BAC, bentuk BCA, bentuk CAB, dan bentuk CBA. Hasil permutasi ini kemudian akan menghasilkan folies yang berbeda satu dengan yang lainnya. Susunan permutasi inipun tidak secara simple disusun kembali menjadi bentuk yang stabil melainkan tiap-tiap elemen dipasangkan dengan elemen lain dengan penyusunan yang tidak seimbang. “The cube has been distorted by elements that were extracted from it”.

Deformation

Hasil permutasi elemen-elemen tersebut kemudian dideformasikan atau merubah bentuknya kembali untuk menyesuaikan dengan kebutuhan mengakomodasi fungsi-fungsi kegiatan yang berbeda-beda sepert restoran, arcade, dan lainnya. Di bawah ini adalah gambar folies yang telah dideformasi.

parcvillette8 parcvillette9
Gambar 7 Permutation of cube; Deformation of cube

Superimposition of Events
Dari hasil analisa bagaimana sang arsitek, Bernard Tschumi, dalam menghasilkan suatu bentuk geometris kemudian saya mengambil kesimpulan mendasar terhadap teknik yang digunakan oleh Tschumi. Teknik mendasar yang digunakan adalah teknik superimposition sedangkan langkah-langkah berikutnya merupakan tindakan lanjutan setelah proses superimpose. Sebelum menentukan benda apa yang akan saya buat pada project kali ini, terdapat beberapa hal yang saya lihat sebagai elemen utama dari metode pembentukan geometri Parc de La Villette ini. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Tschumi berusaha menampilkan sesuatu yang tidak teratur dari suatu bentuk dasar geometri yang penuh keseimbangan dan proporsional. “Ideals of purity, perfection, and order become sources of impurity, imperfection, and disorder.” Data ini menunjukkan adanya suatu transformasi dari kondisi A ke kondisi B yang bertolak belakang.
  2. Teknik superimpose tiga layer yang dilakukan Tschumi untuk meraih bentuk akan saya coba tampilkan sebagai berikut: Points terkait dengan interval, repetisi bentuk, ritme, image, identity; Lines terkait dengan main axis, movement, space, use, circulation, connection; Surfaces terkait dengan area dimana aktivitas berlangsung, peluang event berlangsung.

Dalam langkah berikutnya saya menamakan project ini sebagai The Superimposition of Events dimana saya akan memanfaatkan event-event yang terjadi sebagai subjek pemberi forces terhadap proses superimpose dan proses deformasi bentuk murni menjadi bentuk lain yang tak seimbang. Berbeda dari cara Tschumi yang memberikan forces dari dirinya sendiri sebagai subjek, saya akan melihat bagaimana bila event itu sendiri yang memberikan gayanya terhadap suatu bentuk dalam susunan tiga layer dan bukanlah sang perancang. Mengapa tidak, apabila Tschumi sendiri melihat arsitektur sebagai sesuatu yang terlahir dari event-event yang hadir? Apa yang akan terjadi bila event-event itu sendiri secara kontak langsung melakukan transformasi bentuk-bentuk pure menjadi bentuk impure? Superimpose bentuk-bentuk arsitektur akan dihasilkan oleh event ataupun pergerakan manusia secara langsung. Jadi manusia akan secara langsung sebagai subjek pemberi action melakukan kontak dengan bentuk-bentuk murni. Deformasi dan transformasi yang terjadi dalam kasus Tschumi tidak lagi dilakukan oleh sang perancang itu sendiri tetapi oleh si pengguna ruang yang ada.


Langkah-langkah yang saya lakukan adalah menyiapkan satu buah modul triplek berukuran 103,5 x 103,5 cm2 yang cukup besar sebagai alas injak yang dapat diletakkan di area yang banyak dilalui manusia sebagai jalur sirkulasi dari tempat ke tempat (perempatan misalnya). Langkah berikutnya adalah mengaplikasikan metode 3 layer titik, garis, dan bidang pada modul tersebut dengan titik sebagai neutral space berkomposisi grid yang menunjukkan adanya interval dan ritme dari titik-titik tersebut. Layer titik berupa kubus-kubus plastisin yang disusun dengan sistem grid berinterval 12,5 cm. Bentuk kubus dipilih agar mempertahankan seirama dengan perempatan yang dilalui. Bentuk kubus dapat mewakili dan menguatkan identitas dan orientasi tersendiri di perempatan. Manusia yang melaluinya dapat bersikap familiar ketika melewatinya. Layer garis akan menunjukkan jalur-jalur sirkulasi yang memungkinkan terjadi pergerakan menusia di dalamnya (sama seperti yang dilakukan Tschumi ketika melihat adanya dua garis axis utama yang di dalamnya terdapat benyak pergerakan). Untuk movement layer garis ini berupa garis-garis maya yang menggambarkan arah alur dan gerak movement manusia di perempatan. Layer surface merupakan area yang mungkin digunakan untuk berkegiatan yaitu area di antara kubus-kubus plastisin sebelumnya. Disini layer surface adalah hasil invert dari pola jejak-jejak kaki orang berjalan. Invert dari jejak-jejak ini kemudian menjadi bidang-bidang kosong tak terinjak yang membentuk pola movement berjalan di perempatan. Setelah modul ini selesai, saya meletakkannya di area ramai yang memungkinkan modul ini sering dilalui dan bahkan diinjak ketika mereka bergerak. Yang ingin saya hadirkan adalah bagaimana pembentukan geometri yang terjadi pada si kubus-kubus plastisin ini apabila mereka diremukkan sendiri oleh manusia yang sedang mengalami event bergerak, berlalu lalang, berpindah. Akan ada jejak-jejak pergerakan dari hasil superimpose antara layer titik, garis, dan surface. Efek deformasi yang timbul pun akan hadir tanpa perlu campur tangan sang perancang. Deformasi bentuk yang terjadi hadir dari hasil event yang terjadi pada suatu rentang waktu tertentu. Superimpositions of Events, events secara langsung berperan dalam menciptakan suatu bentuk arsitektural.


parcvillette10
event1 event2 event3
Gambar 8. Superimposition of Events

Di dalam geometri arsitektur, peran geometri dan arsitektur tidak akan pernah dapat terlepas satu sama lainnya. Setiap geometri yang terbentuk dan hadir pasti memiliki arti dalam kehidupan manusia berkegiatan dalam ruang. Begitupun arsitektur yang dapat terkonkritkan wujudnya dari bentuk-bentuk geometri yang ada. Geometri dan arsitektur, masing-masing memiliki peranan dan kontribusi langsung di dalam membentuk suatu ruang berkegiatan manusia. Seperti pada eksplorasi project yang telah saya lakukan, Superimpositions of Events, dapat kita lihat terdapat kesinambungan antara subjek pelaku action dengan objek penerima action. Forces yang diberikan kepada form murni tidak lagi dilakukan berdasar kemauan sang perancang melainkan kepada manusia pengguna ruang pada satu tempat di dalam rentang waktu tertentu.

Definisi, Syarat, & Macam Pemetaan Dengan Metode Polygon


Metode polygon adalah salah satu cara penentuan posisi horizontal banyak titik dimana titik satu dengan yang lainnya dihubungkan satu sama lain dengan pengukuran sudut dan jarak sehingga membentuk rangkaian titik-titik (poligon).


Pengukuran dan pemetaan poligon merupakan salah satu metode pengukuran dan pemetaan. Kerangka dasar horizontal yang bertujuan untuk memperoleh koordinat planimetris (x,y) titik-titik pengukuran.

Pengukuran Kerangka Dasar Horisontal (KDH) :
a. Metode titik tunggal
b. Pengikatan kemuka
c. Pengikatan kebelakang

Pengikatan kebelakang di bagi dua metode:
a. Metode collins
b. Metode cassini
c. Metode titik banyak

Banyak titik di bagi lima metode :
a. Metode poligon
b. Metode triangulasi
c. Metode trilaterasi
d. Metode triangulterasi
e. Metode kuadrilateral

Pengukuran polygon sendiri mengandung arti salah satu metode penentuan titik diantara beberapa metode penentuan titik yang lain. Berdasarkan bentuknya polygon dapat dibagi dalam dua bagian, diantaranya:
1. Polygon berdasarkan visualnya, macamnya adalah :
a. Polygon tertutup



Pada poligon tertutup :
- Garis-garis kembali ke titik awal, jadi membentuk segi banyak.
- Berakhir di stasiun lain yang mempunyai ketelitian letak sama atau lebih besar daripada ketelitian letak titik awal.
- Poligon tertutup memberikan pengecekan pada sudut-sudut dan jarak tertentu, suatu pertimbangan yang sangat penting.
- Titik sudut yang pertama = titik sudut yang terakhir.
Poligon tertutup biasanya dipergunakan untuk :
- Pengukuran titik kontur.
- Bangunan sipil terpusat.
- Waduk.
- Bendungan.
- Kampus UPI.
- Pemukiman.
- Jembatan (karena diisolir dari 1 tempat).
- Kepemilikan tanah.
- Topografi kerangka.

b. Polygon terbuka



(secara geometris dan matematis), terdiri atas serangkaian garis yang berhubungantetapi tidak kembali ke titik awal atau terikat pada sebuah titik dengan ketelitian sama atau lebih tinggi ordenya. Titik pertama tidak sama dengan titik terakhir.
Poligon terbuka biasanya digunakan untuk :
- Jalur lintas / jalan raya.
- Saluran irigasi.
- Kabel listrik tegangan tinggi.
- Kabel TELKOM.
- Jalan kereta api.

c. Polygon bercabang
Dilihat dari geometris, poligon terbagi menjadi 3, yaitu:
1. Poligon terikat sempurna
Dikatakan poligon terikat sempurna, apabila :
- Sudut awal dan sudut akhir diketahui besarnya sehingga terjadi hubungan antara sudut awal dengan sudut akhir.
- Adanya absis dan ordinat titik awal atau akhir.
- Koordinat awal dan koordinat akhir diketahui.
2. Poligon terikat sebagian.
Dikatakan poligon terikat sebagian, apabila :
- Hanya diikat oleh koordinat saja atau sudut saja.
- Terikat sudut dengan koordinat akhir tidak diketahui.
3. Poligon tidak terikat
Dikatakan poligon tidak terikat, apabila :
- Hanya ada titik awal, azimuth awal, dan jarak. Sedangkan tidak diketahui koordinatnya.
- Tidak terikat koordinat dan tidak terikat sudut.

Dilihat dari geometris, poligon terbagi menjadi 3, yaitu:
- Polygon terikat sempurna
- Polygon terikat sebagian
- Polygon tidak terikat

Untuk mendapatkan nilai sudut-sudut dalam atau sudut-sudut luar serta jarak-jarak mendatar antara titik-titik polygon diperoleh atau diukur dari lapangan menggunakan alat pengukur sudut dan pengukur jarak yang mempunyai tingkat ketelitian tinggi.
Pengolahan data polygon dikontrol terhadap sudut-sudut dalam atau luar polygon dan dikontrol terhadap koordinat baik absis maupun ordinat. Pengolahan data polygon dimulai dengan menghitung sudut awal dan sudut akhir dari titik-titik ikat polygon. kontrol sudut polygon diawali terlebih dahulu dilakukan yaitu untuk memperoleh koreksi sudut polygon dengan cara mengontroljumlah sudut polygon terhadap pengurangan sudut akhir dengan sudut awal polygon. Koreksi sudut polygon yang diperoleh kemudian dibagi secara merata tanpa bobot terhadap sudut-sudut polygon hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan.

Sudut-sudut jurusan titik polygon terhadap titik polygon berikutnya mengacu terhadap sudut awal polygon dijumlahkan terhadap sudut polygon yang dikoreksi. Kontrol Koordinat berbeda dengan kontrol sudut yaitu koordinat akhir dan awal dikurangi serta dibandingkan terhadap jumlah proyeksinya terhadap absis dan ordinat. Koreksi absis dan ordinat akan diperoleh dan dibandingkan dengan mempertimbangkan bobot kepada masing-masin titik polygon. Bobot koreksi didekati dengan cara perbandingan jarak pada suatu ruas garis terhadap jarak total polygon dari awal sampai dengan akhir pengukuran.

Syarat Geometris




Jenis-jenis Poligon
Berdasarkan bentuknya poligon dibagi dalam dua bagian, diantaranya :
Jenis Poligon secara Visual :
A. Poligon Tertutup
Polygon tertutup ialah poligon yang bermula dan berakhir pada satu titik yang sama. Poligon tertutup sering disebut poligon kring (kring poligon). Ditinjau dari segi pengkatannya (azimut dan koordinat), terdapat beberapa variasi seperti :
a) Tanpa ikatan
b) Terikat hanya azimut
c) Terikat hanya koordinat
d) Terikat azimut dan koordinat
Keuntungan dari poligon tertutup yaitu, walaupun tidak ada ikatan sama sekali, namun koreksi sudut dapat dicari dengan adanya sifat poligon tertutup yang jumlah sudut dalamnya sama dengan (n-2) 1000. Selain itu, terdapat pula koreksi koordinat dengan adanya konsekuensi logis dari bentuk geometrisnya bahwa jumlah selisih absis dan jumlah selisih ordinat sama dengan nol.
Keuntungan inilah yang menyebabkan orang senang bentuk polygon tertutup. Satu-satunya kelemahan polygon tertutup yang sangat menonjol ialah bahwa bila ada kesalahan yang proporsional dengan jarak (salah satu salah sistematis) tidak akan ketahuan, dengan kata lain walaupun ada kesalahan tersebut, namun polygon tertutup itu kelihatan baik juga. Jarak-jarak yang diukur secara elektronis sangat mudah dihinggapi kesalahan seperti itu, yaitu kalau ada kesalahan frekuensi gelombang.
Kelemahan poligon tertutup yaitu, bila ada kesalahan yang proporsional dengan jarak (salah satu salah sistematis) tidak akan ketahuan. Dengan kata lain, walaupun ada kesalahan, namun poligon tertutup kelihatan baik juga. Jarak-jarak yang diukur secara elektronis sangat mudah dihinggapi kesalahan seperti kesalahan frekuensi gelombang.
Pada Poligon Tertutup :
· Garis-garis kembali ke titik awal, jadi membentuk segi banyak.
Berakhir di stasiun lain yang mempunyai ketelitian letak sama atau lebih besar daripada ketelitian letak titik awal.

B. Poligon Terbuka
Yang dimaksud dengan polygon terbuka ialah polygon yang titik awal dan titik akhirnya merupakan titik yang berlainan (bukan satu titik yang sama). Polygon terbuka ini dapat kita bagi lebih lanjut berdasarkan peningkatan pada titik-titik (kedua titik ujungnya). Ada dua macam peningkatan untuk polygon terbuka ini yaitu :
- Peningkatan azimut
- Peningkatan koordinat
Berdasarkan peningkatan-peningkatan itu, maka polygon terbuka dapat dibagi lebih lanjut menjadi : 1. Tanpa ikatan sama sekali,
2. Pada salah satu ujung yang lain tanpa ikatan sama sekali,
3. Pada salah satu ujungnya terikat azimut saja, sedangkan pada ujung yang lain tanpa ikatan sama sekali,
4. Pada salah satu ujungnya terikat azimut dan koordinat, sedangkan pada ujung yang lain tanpa ikatan sama sekali,

5. Pada kedua ujungnya masing-masing terikat azimuth,
6. Pada salah satu ujungnya terikat koordinat, sedangkan ujung yang lain terikat azimuth
Pada kedua ujungnya masing-masing terikat koordinat ,
7. Pada salah satu ujungnya terikat azimut dan koordinat, sedangkan ujung yang lain terikat azimut saja,
8. Pada salah satu ujungnya terikat azimut dan koordinat, sedangkan ujung yang lain terikat koordinat
9. Pada kedua ujungnya masing-masing terikat baik azimut maupun koordinat.
10. Pada kedua ujungnya masing-masing terikat baik azimut maupun koordinat.

Disorientasi dalam Arsitektur


Tentang Blind Light


Blind Light adalah salah satu instalasi yang diciptakan oleh Antony Gormley. Instalasi tersebut dapat dideskripsikan sebagai box atau ruangan berbentuk kubus yang dapat dimasuki oleh kurang lebih 25 orang. Uap air yang mengisi ruangan tersebut menghadirkan pengalaman yang menarik bagi orang-orang yang memasukinya. Uap air tersebut cukup tebal untuk membatasi pengelihatan orang-orang tersebut dimana ketika seseorang menjulurkan tangannya sendiri, dapat dikatakan mustahil baginya untuk dapat melihat tangannya sendiri. 

Dengan jelas dapat dilihat bahwa ada cahaya di dalam instalasi tersebut, namun kita tidak dapat melihat dimana sumber cahayanya. Uap air yang mengisi instalasi tersebut menyebabkan arah cahaya menjadi berbaur, seakan-akan ruangan tersebut berisi cahaya.


Instalasi Blind Light
Sumber: www.telegraph.co.uk/blindlight.htm

Menabrak batas ruangan tersebut, kira-kira itulah yang kebanyakan orang-orang alami ketika berada di dalam instalasi ini. Dikarenakan tidak dapat melihat sekeliling termasuk tubuh sendiri, maka sebuah pengalaman disorientasi layaknya berada dalam kabut dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalamnya.

Salah satu ide dari instalasi ini bukanlah tentang “melihat”, melainkan tentang “tidak melihat”. Instalasi biasanya diciptakan untuk “dilihat”, dirasakan oleh manusia, namun tidak untuk instalasi Antony Gormley ini. Terdapat sebuah momen yang menarik ketika tubuh seseorang tiba-tiba terlihat ketika ia mulai meninggalkan atau keluar dari ruangan tersebut. Ketika berada di luar dari instalasi tersebut, kita dapat melihat telapak tangan atau kadang-kadang bagian tubuh lain dari orang-orang yang berada di dalamnya berusaha untuk meraba-raba batas dari ruangan tersebut dan mencari jalan keluarnya, layaknya sebuah serangga yang terjebak dalam perangkap dan berusaha agar dapat bebas dari perangkapnya. 

Konsep lain dari Blind Light adalah space experience atau pengalaman manusia terhadap ruang di sekelilingnya. Dalam kehidupan, seorang manusia dapat merasakan adanya ruang dengan jelas, hal ini dikarenakan manusia dapat pula merasakan adanya pembatas ruang-ruang tersebut baik secara fisik maupun tidak. Namun di dalam Blind Light, kemampuan seorang manusia untuk merasakan ruang menjadi hilang. Seseorang tidak dapat lagi merasakan adanya batas-batas ketika berada di dalamnya, akibatnya persepsi manusia mulai beraksi. Tiap orang akan mempunyai persepsi yang berbeda dengan yang lain tentang ruang tersebut. Ada yang berpersepsi bahwa ruang tersebut amat luas, namun juga ada yang akan berpersepsi sebaliknya.

Antara Blind Light dan Arsitektur Organik

Berada di dalam Blind Light memberikan perasaan bahwa kita tidak berada di dalam sebuah ruangan, melainkan berada di space yang tak terbatas, berada di alam bebas. Bila selama ini ruang-ruang yang memiliki batas yang jelas dan masif memberikan suasana terkurung, terbatas atau terkekang di dalamnya, maka Blind Light yang menyamarkan batas-batas tersebut akan memberikan suasana sebaliknya, yaitu suasana bebas. 

Blind Light memiliki persamaan makna dengan arsitektur organik sebagai arsitektur yang membebaskan, seperti yang dikatakan Frank Lloyd Wright, “By organic architecture I mean as an architecture that develops from within outward in harmony with the condition of it’s being as distinguished from one that is applied from without” (dalam Collins, 1965: 152). Arsitektur organik yang dimaksud Wright adalah arsitektur yang harmonis dengan tapak atau site, terbentuk dari dalam ke luar secara integral seperti tumbuhan, dan menghasilkan ruang-ruang yang mengalir dan mengutamakan perasaan bebas di dalam ruang seperti kebebasan yang ada di alam. 

Arsitektur Organik bertujuan menghasilkan bangunan yang “hidup”, bukan bangunan yang “mati”, yang hanya bisa bekerja dan memenuhi fungsinya. Walaupun Blind Light bukanlah sebuah ruang yang ditinggali layaknya ruang dalam arsitektur, instalasi tersebut juga mengajarkan bahwa ruang dapar diciptakan menjadi lebih “hidup” dalam artian lebih dapat memberikan pengalaman-pengalaman terhadap manusia di dalamnya. Ruang tidak lagi dapat diciptakan sebagai “objek mati” yang hanya menyaksikan manusia beraktifitas di dalamnya, namun bisa menjadi “objek hidup” yang turut memberikan pengalaman terhadap aktifitas manusia di dalamnya. 

Yang membuat ruang dalam Blind Light “hidup” adalah karena ruang tersebut membuat orang-orang merasakan pengalaman lain –dalam hal ini adalah disorientasi- dibandingkan dengan ruang-ruang yang lain. Dan salah satu yang menyebabkan hal tersebut adalah uap air yang memenuhi instalasi Blind Light. 

Di dalam Blind Light, bentuk atau geometri menjadi tidak berarti. Andaikata bentuk ruang instalasi tersebut diubah, tetap tidak akan mengubah perasaan disorientasi yang dihasilkan uap air di dalamnya. Uap air tersebut menyebabkan manusia merasakan menyaru dengan lingkungan sekitarnya, tidak ada perasaan dibatasi karena pembatas itu sendiri menjadi bagian dari alam atau lingkungan. Sama halnya dengan arsitektur organik yang didefinisikan Johnson (1994) sebagai arsitektur yang dipandang setara dengan alam. 

Architecture viewed as ‘like’ nature in that it is similar to a natural organism in its harmony, character, and unity, or because its shape and structure are based in natural forms and blend with nature, or imitate natural processes or outcomes –expecially the nature that organizes thing, react to environment forces, gravitational forces, undergoes the mysterious process called growth, flowering, and seeding, then eventually decays only to start all over again- has been labeled organic architecture (Johnson, 1994: 91)

Antara Blind Light dan Disoriented Movement
Saya mengambil beberapa kata kunci dari data-data sebelumnya sebagai referensi bagi saya untuk menghasilkan bentuk baru dengan referensi yang sama. Kata kuncinya adalah space experience dan arsitektur organik. Bentuk dalam konsep arsitektur organik tidak berarti meniru bentuk yang ada di alam secara harafiah, melainkan bentuk yang tepat. Bentuk yang tepat tidak harus kotak atau tegak lurus, namun juga tidak berarti menolak geometri seperti yang dikatakan Franck (2000), “As in nature, where everything has its own order, where spontaneity, beauty, and even wilderness are based on biologic-mathematical system…” 

Saya mengambil bentuk kotak atau bujur sangkar sebagai bentuk dasar dari geometri saya, karena bentuk bujur sangkar adalah bentuk yang paling statis, netral, dan tidak mempunyai arah tertentu (Ching, 1993: 57). Walaupun karateristik tersebut berlawanan dengan kondisi alam, dimana alam adalah ruang tidak statis (terus berkembang), dan memiliki orientasi tertentu (bumi dan planet lain berputar dengan orientasi tertentu), namun saya ingin membuktikan bahwa alam tidak dapat dideskripsikan dengan bentuk tertentu, dan bahkan oleh bentuk bujur sangkar sekalipun pasti dapat dikatakan bentuk alam. 

Alam itu hidup, terus mengalami perubahan baik secara fisik maupun tidak yang disebabkan oleh natural forces. Agar mengalami sebuah perubahan layaknya alam, maka saya juga memberikan forces terhadap bentuk dasar geometri saya tersebut. Forces yang saya berikan adalah copying, moving, and rotating yang dilakukan secara vertikal. Saya memberikan forces tersebut agar membuat bentuk dasar ini tersusun menjadi sebuah kesatuan, dimana kesatuan hadir dalam beberapa cara, terutama melalui (Parker, 2003):
  1. Harmoni atau persatuan beberapa elemen yang bekerja sama.
  2. Keseimbangan dari elemen-elemen yang kontras atau bertentangan.
  3. Perkembangan atau evolusi suatu proses menuju akhir atau klimaks; terdapat sekuens dimana elemen-elemen berurutan menuju kepada suatu akhir atau hasil. 
Geometri dengan konsep organik ini harus memiliki kesatuan pada keseluruhan bentuk mulai dari hubungan antara ruang-ruang, bentuk massa, sampai pada penggunaan material, seperti yang diungkapkan Javier Senosiain pada karyanya rumah Kiesler (dalam Senosiain, 2003: 137), “… To take the observer through a series of sequences which prove that the house is an organic whole and to design a model of rhythm, effects, and ordered sequences…”


Proses pembentukan kesatuan


Pemberian gaya putar


Forces terakhir yang saya berikan pada kesatuan bentuk tersebut adalah movement. Saya memberikan gaya berputar pada kesatuan bentuk tersebut untuk memenuhi kata kunci yang pertama, yaitu space experiences. Dengan bentuk yang berputat akan menyamarkan geometrinya sendiri, dimana secara keseluruhan geometri tersebut terlihat seakan-akan terus berkembang. Dengan adanya force ini pula yang membuat manusia susah untuk merasakan batas dari bentuk tersebut. Tidak ada batas yang fixed atau yang statis, semua batas bergerak sehingga manusia akan merasakan pengalaman ruang yang berbeda meskipun tetap berada di tempat yang sama. Kombinasi dari force inilah yang membuat geometri ini akan semakin “hidup” karena menghasilkan sebuah pengalaman ruang bagi manusia di sekitarnya.

Keuntungan dan kerugian menggunakan baja ringan

Kadangkala ketika melihat sebuah bangunan yang sedang dikerjakan terutama yang sedang memasang rangka atap, terlihat struktur rangka baja berwarna perak digunakan untuk struktur penyangga atap, tidak digunakan kayu seperti biasanya. Itulah konstruksi rangka atap baja ringan yang semakin banyak digunakan bukan hanya pada proyek-besar dan mewah tetapi sudah digunakan juga pada rumah-rumah tinggal, gedung sekolah, ruko, dan lain-lain.

Berbeda dengan baja konvensional, baja ringan merupakan baja mutu tinggi yang memiliki sifat ringan dan tipis, namun memiliki fungsi setara baja konvensional. Baja ringan ini termasuk jenis baja yang dibentuk setelah dingin (cold form steel).


Rangka atap baja ringan diciptakan untuk memudahkan perakitan dan konstruksi. Meskipun tipis, baja ringan memiliki derajat kekuatan tarik yang tinggi yaitu sekitar 550 MPa, sementara baja biasa sekitar 300 MPa. Kekuatan tarik dan tegangan ini untuk mengkompensasi bentuknya yang tipis. Ketebalan baja ringan yang beredar sekarang ini berkisar dari 0,4mm – 1mm.
Perhitungan kuda-kuda baja ringan amat berbeda dengan kayu, yakni cenderung lebih rapat. Semakin besar beban yang harus dipikul, jarak kuda-kuda semakin pendek. Misalnya untuk genteng dengan bobot 40 kg/m2 jarak kuda-kuda bisa dibuat setiap 1,4m. Sementara bila bobot genteng mencapai 75kg/m2, maka jarak kuda-kuda menjadi 1,2m.
Inilah kelebihan dan kekurangannya: (*sumber : serial rumah)


Kelebihan Baja Ringan :


Karena bobotnya yang ringan maka dibandingkan kayu, beban yang harus ditanggung oleh struktur di bawahnya lebih rendah.
Baja ringan bersifat tidak membesarkan api.
Tidak bisa dimakan rayap.
Pemasangannya relatif lebih cepat apabila dibandingkan rangka kayu.
Baja ringan nyaris tidak memiliki nilai muai dan susut, jadi tidak berubah karena panas dan dingin.


Kelemahan Baja Ringan :


Kerangka atap baja ringan tidak bisa diekspos seperti rangka kayu, sistem rangkanya yang berbentuk jaring kurang menarik bila tanpa penutup plafon.
Karena strukturnya yang seperti jaring ini maka bila ada salah satu bagian struktur yang salah hitung ia akan menyeret bagian lainnya maksudnya jika salah satu bagian kurang memenuhi syarat keamanan, maka kegagalan bisa terjadi secara keseluruhan.
Rangka atap baja ringan tidak sefleksibel kayu yang dapat dipotong dan dibentuk berbagai profil.


Peraturan untuk konstruksi rangka atap baja ringan di Indonesia sepertinya belum ada(setidaknya untuk saat ini), kalaupun ada hanya tersirat pada peraturan baja secara umum, sedangkan untuk baja cold form sepertinya belum ada secara khusus.

Dilihat dari sudut lain, benarkah rangka atap baja ringan itu sahabat alam?
Karena salah satu kelebihan baja adalah tidak dimakan rayap, ya bisa dikatakan memang benar bahwa rangka atap baja ringan adalah sahabat alam. Seperti diketahui rayap merupakan serangga perusak kayu yang cukup ditakuti diseluruh dunia. Kemampuan makan seekor prajurit rayap bisa mencapai 2,5 kali berat tubuhnya setiap hari. Selain masalah rayap, penggunaan rangka atap baja ringan yang semakin lumrah tentu saja bisa mengurangi volume pemakaian kayu untuk bahan bangunan, tapi itu baru secara logika.
Kalau dikatakan pasti lebih ramah lingkungan sepenuhnya masih perlu pembuktian, karena selama ini jarang sekali dipublikasikan bagaimana proses pembuatan material baja ringan tersebut, apakah bahan yang mereka gunakan juga ramah lingkungan? Darimana dan bagaimana mereka mendatangkan bahan-bahan pembuatnya, dan apakah pabriknya sendiri sudah ramah lingkungan, termasuk pengolahan limbahnya.

Back To Top